Menyehatkan Dunia Telekomunikasi Dengan Konsolidasi

Menyehatkan Dunia Telekomunikasi Dengan Konsolidasi – Indonesia  Technology Forum (ITF) mengadakan sebuah acara talkshow dan Seminar dengan temanya berjudul KONSOLIDASI JURUS PAMUNGKAS SEHATKAN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI. Berlokasikan di Balai Kartini pada 2 Mei 2019 lalu.

Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Bapak Rudiantara sebagai Keynot Speaker turut hadir dalam acara ini sebagai pembicara. Dilanjutkan dengan panelis dari berbagai tokoh,  Perwakilan Ketua ATSI : Bapak Buldansyah, Ketua BRTI/Dirjend SDPPI, Bapak Ismail,  Analis dari Deutsche Bank, Bapak Raymond Kosasih dan Muhammad Syarkawi Rauf dari Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA).

idnslot

Menyehatkan Dunia Telekomunikasi Dengan Konsolidasi

Sebagaimana diketahui konsolidasi operator seluler yang sudah menjadi wacana dan didorong pemerintah sejak tahun 2015 kembali mengemuka. Pemerintah beranggapan bahwa saat ini jumlah operator telekomunikasi Tanah Air terlalu banyak. Di indonesia saat ini  terdapat enam pemain seluler, yaitu Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, Hutchison 3 Indonesia, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. idnslot

Dengan banyaknya jumlah operator tersebut, tidak semuanya bisa mendapatkan jatah frekuensi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Akibatnya, konsumen tak menikmati pelayanan yang maksimal. www.mrchensjackson.com

Itu masih ditambah dengan persaingan yang kian sengit bahkan mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. Dampaknya kembali ke operator sendiri. Di mana industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2018 mengalami pertumbuhan negatif.

Menyehatkan Dunia Telekomunikasi Dengan Konsolidasi

Kondisi Industri Telekomunikasi

Industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 semakin terpuruk. Menurut  Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), untuk pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018.

Industri telekomunikasi dalam 2 tahun belakangan ini masih mampu mengantongi keuntungn mencapai sekitar Rp 158 triliun. Tetapi pada tahun 2018 pendapatan yang diperoleh menurun menjadi Rp 148 triliun alias minus 6,4 persen. Bisa dikatakan bahwa Industri telekomunikasi di tahun 2018 memang tidak begitu menggembirakan.

Pendapatan yang menurun ini dikarenakan beberapa faktor penting yaitu penurunan layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan juga adanya regulasi registrasi SIM Card.

Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tarif layanan data termurah.Konsumsi layanan data per penggunanya juga cukup memiliki nilai yang rendah jika dibandingkan negara yang sebanding, seperti Malaysia, Filipina dan India yaitu sekitar 3,5GB per bulan.

Meski demikian, para pemain industry selular  optimis industri telekomunikasi di Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh. Pemain di industri ini masih melihat potensi yang menjanjikan di pertumbuhan konsumsi layanan data, serta peningkatan penetrasi smartphone yang semakin besar, perbankan dan infrastruktur B2B.

Namun, untuk membuat industri ini memiliki keberlanjutan, inisiatif operator saja tidak cukup. Para pelaku industry  mengharapkan dukungan penuh dari pemerintah. Dukungan yang diharapkan antara lain melalui kebijakan dan regulasi terkait OTT dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menyehatkan kompetisi, serta menjamin keberlangsungan bisnis telekomunikasi.

Hal lainnya juga karena diperlukan adanya pemutakhiran regulasi pada teknologi dan layanan baru seperti 5G, Fixed Wireless Access dan IoT, dan juga segala persiapan penyediaan frekuensi untuk dapat memnuhi segala kebutuhan sumber daya. Peraturan ataupun regulasi juga sangat perlu dihadirkan oleh Pemerintah agar dapat memudahkan jika terdapat operator yang akan melakukan konsolidasi, dan juga perlu dilakukan simplikasi perizinan bertujuan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi.

Rudiantara yang menjabat sebagi menteri komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) mengatakan bahwa situasi keadaan industri telekomunikasi di Indonesia belum dapat dikatakan ideal karena banyaknya pemain. Sehingga terus mendorong adanya konsolidasi yang bisa menjadi salah satu faktor yang mampu membuat industri telekomunikasi menjadi lebih sehat dan bergairah.

Rudiantara bahkan menandaskan bahwa sejak awal pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah mendorong operator telekomunikasi berkonsolidasi karena membutuhkan skala ekonomi yang lebih besar. Karena dengan economic of scale yang meningkat, perusahaan telekomunikasi memiliki bargaining power.

Sangat perlu dilangsungkan sebuah konsolidasi dengan tujuan supaya industri telekomunikasi lebih efisien. Segala hal ini sudah mulai disadari oleh para pemilik saham telekomunikasi di Indonesia. Konsolidasi adalah wujud nyata atau disebut juga corporate action karena para pemegang saham akan menentukan arahnya tetapi pihak Pemerintah lah yang memfasilitasinya, kata Rudiantara dalam sambutannya di talkshow dan seminar Indonesia Technology Forum yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta.

Menurut Rudiantara ada beberapa program strategis Kemkominfo di industri. Alhamdulillah menurutunya ada yang berjalan baik sesuai schedule salah satunya refarming 4G. Bahkan analis dunia meragukan Indonesia bisa menyelenggarakan 4G dengan cepat. Berkat kerjasama dengan operator. Akhirnya tahun 2015 berhasil. Selanjutnya Palapa Ring juga berjalan dengan baik.

“Satu hutang yang belum terbayar dan telah menjadi program sejak 2015 awal adalah menyehatkan industri dengan cara konsolidasi. Namun ini call bukan di operator (manajemen) tapi di pemegang saham. Mereka ini tidak mudah terpengaruh. Apalagi jika mereka (share holder) ini banyak duit. Perusahaan menderita, tetapi pemegang saham juga seperti orang kaya terus,” ungkap Rudiantara.

Menurut Chief RA, panggilan akrab Rudiantara, konsolidasi  sebagai salah satu cara untuk menyehatkan industri . “Sejak 2016 sudah berharap itu karena pertumbuhan industri sudah tidak sehat. Sampai dengan tahun 2015-2016 revenue masih double digit, pertumbuhan paling tinggi dengan kontribusi ke GDP / PDB. Sekarang turun tinggal 7%, seharusnya bisa drive untuk ekonomi,” ungkapnya.

Rudiantara mengatakan bahwa industrii  harus lakukan ini. “Penyehatan industri sederhana, bagaimana secara industri melihat bukan ke operator, tapi manage top line. Kontribusi top line industri, ke PDB 1,1-1,2% dari GDP. Kalau di negara lain bisa 1,5%. Sebenarnya ruang ke sana ada, tapi perlu niatnya.  Saat ini pemerintah bisa membantu pada bagian biaya, yang tidak meningkatkan cost of service. Saat ini kondisi industri telekomunikasi kita di belakang di negara-negara asean (singapura, malaysia, thailand),” tegasnya.

Regulasi Mengenai Konsolidasi

Terdapat kendala yang menjadikan operator tidak melakukan konsolidasi. Aturan Pemerintah yang dituliskan dalam Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1999 yang mengamanatkan, frekuensi itu milik negara. Hal ini mengakibatkan apabila terdapat satu operator berhenti karena berbagai macam hal, antara lain karena diakusisi pihak lain, frekuensi tersebut harus dapat dikembalikan kepada Pemerintah.

Pada dasarnya mengenai frekuensi ni akan dievaluasi oleh pemerintah kalau terjadi merger. Kemudian evaluasi yang paling pas untuk jumlah perusahaan baru itu frekuensi berapa itu akan kami terbitkan.

Pada hal ini, BRTI sedang membahas formulasi tentang cara regulator dalam melakukan evaluasi tersebut menjadi transparan sehingga operator dapat melakukan perhitungan saat melakukan merger. Hal ini menurutnya bisa mempengaruhi biaya dari merger itu sendiri.

Ketiga adalah isu soal pelanggan. Jadi dengan adanya merger ini, pelanggan akan diuntungkan karena akan terjadi sebuah perusahaan yang sehat dalam memberikan layanan kepada publik.

Perusahaan sehat maksudnya adalah korporasi yang secara berkelanjutan membangun dan memberikan kualitas layanan yang maksimal. Sebaliknya, ketika perusahaan tidak sehat, maka kualitas layanan pun tak akan bisa terjaga.